Makalah Sejarah Perkembangan Agama Buddha Di Indonesia - DENAWANTO

5/16/2019

Makalah Sejarah Perkembangan Agama Buddha Di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Agama budha dimulai sekitar tahun 500 SM hingga tahun 300 M. Agama tersebut secara tidak langsung mempunyai kaitan yang erat dengan agama yang mendahuluinya maupun agama yang datang sesudahnya, seperti agama hindu. Sebagai agama ajaran budha tidak bertitik tolak dari Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta serta seluruh isinya, termasuk manusia, tetapi dari keadaann yang dihadapi manusia dalam kehidupan sehari-hari khususnya tentang tata susila yang harus dijalankan manusia agar terbebas dari lingkaran Sukha yang senantiasa mengiringi hidupnya.
Banyak orang yang belum mengerti mengenai ajaran agama Buddha terutama mereka yang bukan pemeluk agama itu. Makalah ini penulis susun untuk mencoba menelisik lebih dalam lagi mengenai seluk beluk agama Buddha.

Rumusan Masalah
  • Bagaimanakah Sejarah Agama Budha ?
  • Siapakah Pendiri Agama Budha ?
  • Bagaimana Ajaran- Ajaran Agama Budha ?
  • Apa Saja Aliran- Aliran Agama Budha ?
  • Apa Saja Kitab Suci Agama Budha?
  • Bagaimana Tata Kebaktian Agama Budha?
  • Apa Kebaktian Puja Menurut Agama Budha?
  • Apasaja Bentuk Ibadat Dalam Agama Budha?
  • Apasaja Hari Raya Agama Budha?
  • Bagaimana Tuhan Menurut Pandangan Ajaran Budha ?
  • Bagaimana Perkembangan Agama Budha Di Indonesia ?
Tujuan Penulisan
  •  Untuk Mengetahui Sejarah Agama Budha.
  • Untuk Mengetahui Pendiri Agama Budha.
  • Untuk Mengetahui Ajaran Agama Budha.
  • Untuk Mengetahui Aliran-Aliran Agama Budha.
  • Untuk Mengetahui Kitab-Kitab Suci Agama Budha.
  • Untuk Mengetahui Tata Kebaktian Agama Budha.
  • Untuk Mengetahui Kebaktian Puja Dalam Ajaran Agama Budha.
  • Untuk Mengetahui Bagaimana Bentuk-Bentuk Ibadat Dalam Agama Budha.
  • Untuk Mengetahui Hari Raya Agama Budha.
  • Untuk Mengetahui Tuhan Menurut Pandangan Ajaran Budha.
  • Untuk mengetahui Perkembangan Agama Budha Di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

Sejarah Agama Budha

Agama budha merupakan salah satu agama yang muncul dan berkembang pesat di daratan india. Agama ini mulai muncul pada abad ke 6 SM. Sebagai agama yang muncul pada masa itu, secara historis agama tersebut masih ada kaitannya dengan agama pendahulunya, yaitu agama hindu. Pembawa ajaran agama ini, adalah sidharta budha Gautama yang sebelum memperoleh pencerahan merupakan seorang pangeran kerajaan maghada dan pemeluk agama hindu.

Pedoman dan hukum-hukum yang diajarakan oleh sidharta mempunyai tujuan akhir untuk melepaskan nafsu dan penderitaan dalam hidup manusia sehingga dapat mencapai nirwana. Sebagai agama, ajaran budha tidak bertitik tolak kepada Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta dan seluruh isinya. Agama budha justru bertitik tolak pada keadaan yang dihadapi manusia dalam kehidupan sehari-hari, khususnya tentang tata susila agar manusia terbebas dari lingkaran sukha yang selalu mengiringi hidupnya.

Secara etimologi perkataan “Budha” berasal dari kata “bhud” yang artinya “bangun” orang Budha ialah orang “yang bangun” artinya orang yang telah bangun dari malam kesesatan dan sekarang ada di tengah cahaya yang benar.


Pendiri Agama Budha

Dalam cerita yang berkembang di kalangan umat budha bahwa jauh sebelum zaman prasejarah pernah hidup seorang makhluk bernama sumedha. Ia pernah mengalami berjuta-juta reinkarnasi selama ia dalam tubuh seorang manusia yang mempunyai derajat kebudhaan yang bernama sidharta.

Menurut riwayat, sidharta dilahirkan kira-kira tahun 563 SM. Di daerah kapilawastu, dikaki pegunungan Himalaya. Ayahnya seorang raja yang kaya raya bernama sudhodana dan ibunya bernama maya. Sedangkan menurut sumber dari Mahayana, seorang boddhisattwa dalam bentuk seekor gajah putih turun dari surga tusita memasuki Rahim maya sehingga ia hamil. Setelah ia melahirkan, anak itu diberi nama Sidharta Gautama Sakyamuni, artinya pendeta dari suku sakya.

Menjelang kelahirannya banyak peristiwa yang luar biasa, seperti keadaan dunia tiba-tiba tampak begitu indahnya, diliputi oleh tebaran bunga teratai, pohon pada berbunga, orang bisu bisa berbicara, orang tuli bisa mendengar, orang buta bisa melihat, orang lumpuh bisa berjalan, alat music bisa berbunyi sendiri dll. Semua itu merupakan pertanda akan datangnya anak yang kelak menjadi pemimpin yang besar.

Saat menginjak usia 29 tahun, munculah rasa keinsafan batinnya, bahwa hidup keduniaan dalam suasana kemewahan diistana tidaklah dapat memberi ketenteraman batinnya. Timbul hal itu karena di waktu ia bercengkerama telah melihat peristiwa yang sangat mengesankan. Ia melihat seorang pendeta pertapa yang meskipun hidup miskin tapi tampak cerah wajahnya melambangkan kedamaian yang terdapat dalam batinnya. Maka sidharta sangat tertarik untuk menempuh jalan hidup pertapa ini.

Dari peristiwa yang telah dijumpai, ia dapat menyimpulkan, bahwa hidup di dunia ini penuh penderitaan. Sehingga ia memutuskan untuk meninggalkan istana ayahnya guna mencari jalan yang dapat membebaskan manusia dari penderitaan. Ia mengembara masuk keluar hutan, berpuasa dan bertapa guna mendapat pengetahuan sejati. Dan setelah ia bersemedi di bawah pohon Boddhi di Boddh Gaya tersingkaplah baginya “ pengetahuan tentang kebenaran yang sejati” maka sejak itu ia memakai gelar Buddha, artinya yang telah memperoleh pengetahuan tentang kebenaran sejati.

Ajaran Agama Budha
Ajaran agama budha bersumber pada kitab tripitaka yang berarti tiga keranjang, atau tiga kumpulan ajaran. Isi kitab ini tidak hanya berasal dari kata-kata sang budha sendiri, melainkan juga kata-kata dan komentar dari siswanya. Kemudian sumber ajaran itu dipilih menjadi tiga kelompok :

Sutra Pittaka, memuat dharma atau ajaran budha kepada pengikutnya.

Vinaya Pittaka, yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur kehidupan sangha dan para penganutnya.

Adhidharma Pittaka, yang memuat filsafat agama budha, dimana terdapat pembahasan yang mendalam tentang hakikat dan tujuan hidup.

Adapun ajaran-ajaran agama budha sebagai berikut :

Catur Arya Satyani

Ajaran pokok yang disampaikan oleh budha Gautama kepada muridnya berupa empat kebenaran mulia, yang disebut dengan catur arya satyani yang terdiri dari :

Dukha, artinya penderitaan, maksudnya bahwa hidup di dunia adalah penderitaan.

Samudaya, artinya sebab penderitaan, maksudnya yang menjadi sebab penderitaan adalah keinginan manusia untuk hidup (the will to live), yang disebut tanha.

Nirodha, artinya pemadaman, maksudnya bahwa cara pemadaman atau menghilangkan penderitaan itu dengan jalan menghapus tanha.

Margha, jalan untuk menghilangkan tanha

Bila tanha telah hilang, maka seseorang akan mencapai nirwana yaitu alam kesempurnaan.

Kemudian untuk menghilangkan tanha, manusia harus menempuh delapan jalan yang mulia, yang disebut Astha Arya Margha yaitu :
  • Kepercayaan yang benar
  • Niat dan pikiran yang benar
  • Perkataan yang benar
  • Perbuatan yang benar
  • Mata pencarian yang benar
  • Usaha yang benar
  • Kesadaran yang benar
  • Samadhi yang benar
Nirwana

Tujuan terakhir dari setiap pemeluk agama budha adalah mencapai nirwana, dimana seseorang telah lepas dari samsara, yang berarti ia telah lepas dari penderitaan. Menurut agama budha nirwana mengandung arti berhentinya proses kelahiran dan proses hidup sekaligus bahwa mati pun taka da lagi, alias abadi. Nirwana dapat diartikan pula dengan padamnya segala api nafsu, berhentinya segala perasaan, hilangnya segala gangguan, atau bisa dikatakan tercapainya ketenangan dan kedamaian yang sempurna.

Tidak mudah untuk mencapai nirwana, karena untuk mencapai nirwana orang harus hidup suci dan harus mampu melenyapkan tanha. Hidup suci artinya orang harus menjauhi segala apa yang dilarang dalam agama budha. Pada dasarnya ada sepuluh larangan yang disebut Dasasila, yang merupakan pokok-pokok etika budha. Sepuluh larangan itu adalah :
  • Dilarang menyakiti atau membunuh sesame manusia
  • Dilarang mencuri
  • Dilarang berzina
  • Dilarang berkata kasar atau berdusta
  • Dilarang minum- minuman keras
  • Dilarang serakah
  • Dilarang melihat kesenangan
  • Dilarang bersolek
  • Dilarang tidur ditempat yang mewah
  • Dilarang menerima suap
Arahat

Seorang arahat adalah seseorang yang telah melenyapkan hawa nafsu dan keinginanya, sehingga ia tidak teringat oleh apapun. Sebelum seseorang mencapai tingkat arahat maka keadaan yang mendekatinya dapat dibagi menjadi tiga :

Sottapati, yaitu tingkat dimana seseorang harus menjelama tujuh kali lagi sebelum mencapai nirwana.

Sekadagami magga, yaitu tingkat seseorang tinggal satu kali menjelma sebelum mencapai nirwana.

Anagami, yaitu tingkat dimana seseorang sudah tidak akan menjelma lagi, ia tinggal menunggu saatnya untuk mencapai nirwana sesudah itu tinggallah tingkat arahat, dimana seseorang telah mencapai nirwana.

Setelah mencapai tingkat ini, hatinya akan diliputi oleh kedamaian. Menurut kepercayaan agama budha, orang dapat mengetahui kebenaran yang hakiki dari segala sesuatu yang ada disekitarnya.

Aliran-Aliran Agama Budha

Budha sebelum meninggal, bertanya hingga tiga kali kepada 500 orang biksu yang dikumpulkan, apakah tidak ada keragu-raguan lagi pada mereka tentang ajarannya dan bahwa tidak ada seorangpun diantaranya yang memberi jawab, bahwa ia masih memerlukan keterangan yang lebih jelas, namun tidaklah mengherankan, jika timbul bermacam-macam aliran di dalam agama Budha. Mula-mula perpecahan terjadi di kalangan anggota sangha (pendeta) tetapi kemudian meluas sampai pada orang awam, karena sangha berusaha menarik pengikutnya masing-masing guna memperkuat kedudukan agamanya. Akhirnya diadakan suatu konsili (kongres bikhu) sampai 3 kali.

Konsili pertama diadakan di Rajagraha tidak lama sesudah Budha Gautama meninggal, dan dihadiri oleh 900 orang biku dan dipimpin oleh Kashyapa. Dalam pertemuan ini dibicarakan dan dirumuskan sari ajaran Sakyamuni, tentang pokok : ajaran (dhamma) dan tentang peraturan beserta tata tertib (vinaya) yang ditaati setiap bikhu dan bikhuni dalam masyarakat biara (sangha). Namun hasil : konggres tersebut, masih belum dibukukan, hanya bersifat turun temurun melalui lesan sehingga belum dapat mencegah timbulnya perpecahan.

Konsili kedua berlangsung di Vaisali seabad kemudian setelah Budha wafat, dalam pertemuan ini berlangsung musyawarah mengenai peraturan beserta tata tertib (vinaya) yang harus ditaati oleh setiap rahib dalam masyarakat biara (sangha), hal ini bermula dari penyimpangan dari para rahib, diantaranya dalam hal menyimpan garam lebih banyak dari pada yang diperkenankan, hal makan dua kali di dua desa yang berlainan, hal berdasarkan perbuatannya pada teladan orang rahib yang sudah tua, bukan kepada hukum, hal menerima dan memiliki emas dan perak dan sebagainya. Hal tersebut bertentangan dengan dharma, dan menyebabkan adanya perpecahan diantara pengikut sang Budha.

Bermula perpisahan 2 aliran :

Golongan konservatif yang menyebut dirinya Sthaviravadins yang mana belakangan dikenal dengan Theravada bersikap mempertahankan kesederhanaan ajaran Sakyamuni.

Golongan liberal yang memberikan penafsiran lebih bebas atas ajaran Sakyamuni dan menyebut dirinya Mahasanghikas yang pada masa belakangan lebih dikenal Mahayana.

Adapun aliran-aliran agama budha yang berkembang ada dua macam :

Aliran Hinayana

Aliran hinayana adalah aliran ortodoks. Yaitu aliran yang mempertahankan keasliannya ajaran agama budha. Sesuai ajaran asli budha Gautama, aliran hinayana tidak mengajarkan penyembahan kepada tuhan. Yang penting ialah melaksanakan ajaran moral yang diajarakan oleh gurunya. Tujuan tertingginya ialah menjadi arahat yaitu seseorang yang benar-benar telah lenyap nafsu dan keinginannya serta ketidaktahuannya sehingga ia dapat mencapai nirwana dan dengan demikian terbebaslah dari serangkaian samsara. Aliran ini menitikberatkan pada kelepasan individual, artinya tiap-tiap orang berusaha melepaskan dirinya masing-masing dari penderitaan hidup.

Aliran Mahayana

Mahayana adalah aliran yang mengadakan pembaharuan terhadap ajaran budha yang asli. Ciri yang menonjol pada aliran ini adalah timbullah upacara penyembahan kepada tuhan dalam agama budha. Menurut teologi Mahayana, yang disebut budha itu bukan hanya budha Gautama saja, melainkan 4 orang lagi yang disebut budha sebagai guru dunia, yaitu :
  • Kakusandha
  • Konagammana
  • Kassapa yang datang sebelum budha Gautama dan,
  • Maitreya, yang kelak akan datang setelah budha Gautama
Menurut kepercayaan aliran Mahayana, tujuan yang tertinggi bukan menjadi arahat, tetapi menjadi boddhisatwa. Seorang boddhisatwa sebenarnya bisa langsung menikmati kebahagiaan di nirwana, tetapi ia belum mau menetap di nirwana, melainkan masih ingin turun kedunia guna menyelamatkan umat manusia dari penderitaan.

Dari kedua aliran budha kita dapat membuat skema untuk menggambarkan perbedaan kedua aliran agama budha. Adapun skemanya adalah:

HinayanaMahayanaManusia sebagai pribadiManusia terlibat dengan sesamanyaManusia sendirian dalam alam semesta (emansipasi dengan upaya sendiri)Manusia tidak sendirian (penyelamatan melalui rahmat)Kebajikan utama : kearifanKebajikan utama: karunia, belas kasihAgama sebagai jabatan seumur hidup (terutama bagi para rahib)Agama itu penting bagi hidup di dunia (juga bagi orang awam)Cita-cita : arahatCita-cita: BoddhisatwaBudha seorang santo (suci)Budha seorang penyelamatMenghindari metafisikaMendalami metafisikaMenghindari upacara keagamaanMencakup upacara keagamaanMembatasi doa pada SamadhiMemasukkan doa permohonanKonservatifLiberal


Kitab Suci Umat Buddha
Agama Buddha di Indonesia secara bertahap Theravada, Mahayana dan Vajrayana dalam perkembangannya telah tumbuh kembali di bumi nusantara. Oleh karena itu Sangha Agung Indonesia sebagai maha sangha dari ketiga aliran tersebut telah menetapkan bahwa kitab suci yang dijadikan pegangan Agama Buddha Indonesia adalah Tripitaka yang terdiri dari :

Pali Pitaka atau keranjang yang berisi Tripitaka yang bahasa pertamanya Pali (Tipitaka Pali). Selama berabad-abad ajaran Buddha pada awal masa lalu tetap dijaga keberadaannya dan dituturkan kembali kepada umat Buddha oleh Sangha, yaitu komunitas rahib-rahib (biarawan-biarawati) Buddha. Ajaran-ajaran ini ditulis dalam bahasa Pali di atas manuskrip daun palma di Sri Langka. Buddha sendiri tentunya berbahasa dengan dialek Pali. Kitab suci ini dikenal sebagai Pali Common. Kitab suci ini kemudian dibagi menjadi tiga bagian yang disebut sebagai Tipitaka (tiga bakul):


Viyana Pitaka, berbicara mengenai Sangha

Sutta Pitaka, terdiri dari bermacam-macam ceramah yang diberikan oleh Buddha

Abbimdhamma Pitaka, berisi analisis ajaran Buddha.

Sanskerta Pitaka atau keranjang yang berisi Tripitaka dan kitab-kitab suci agama Buddha yang bahasa pertamanya Sanskerta. Pitaka ini sekarang lebih dikenal dalam bentuk Mahapitaka (Mandarin) atau Kaghyur (Tibet). Kitab Suci Mahayana pada masa-masa awalnya ditulis dalam bahasa Sanskerta, yaitu bahasa India pertama. Kebanyakan isinya dapat dijumpai dengan penambahan kitab-kitab lainnya. Dinyatakan bahwa kitab-kitab tambahan itu sebagai “sabda Buddha”. Salah satu diantaranya yang paling terkenal adalah Vimalakirti Sutra, yang berisi tentang seseorang yang berumah tangga tetapi hidupnya lebih suci daripada semua Bodhisattva.


Kawi Pitaka, atau keranjang Kawi yang berisi kitab-kitab suci agama Buddha peninggalan nenek moyang bangsa Indonesia sendiri yang ditulis dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno)

Tata Kebaktian Agama Buddha

Sarana kebaktian agama Buddha terdiri dari:

Vihara

Tempat kebaktian umat Buddha yang lengkap terdiri dari:

Uposathagara, yaitu gedung uposatha (pesamuan para bhikkhu). Di dalam gedung uposatha ini dilakukan segala hal yang berhubungan dengan kegiatan Sangha yang disebut Sanghakamma. Berdasarkan Viyana Pitaka, sanghakamma yang dilakukan dalam Uposathagara antara lain adalah:

Penahbisan para bhikkhu (upasampada)

Pembacaan patimokkha, yaitu 227 peraturan kebhikkhuan yang dilakukan pada setiap bulan genap dan bulan terang

Penyelesaian pelanggaran para bhikkhu

Penentuan hak Khatina

Selain hal-hal tersebut di atas, uposathagara dapat juga berfungsi sebagai dhammasala atau dharmasala (ruang dharma), yaitu tempat Puja bakti dan pembabaran dhamma. Upasathagara disebut pula sebagai Sima. Secara harfiah, sima artinya adalah batas. Jadi dalam hal ini uposathagara adalah bangunan yang ada batas-batasnya. Ada dua macam sima yaitu: Buddha Sima dan Abaddha Sima. Buddha sima adalah uposathagara yang mempunyai batas khusus yang buat sangha. Sedangkan Abaddha Sima adalah uposathagara yang mempunyai batas alami, tidak khusus dibuat oleh sangha seperti batas tanah yang sudah ada sejak dulu, misalnya pohon, batu, dan lain sebagainya.

Dhammasala atau dharmasala, yaitu tempat puja bakti dan pembabaran Dhamma. Di tempat inilah umat Buddha melaksanakan puja bakti dan mendengarkan pembabaran Dhamma yang disampaikan oleh para bhikkhu, pandita atau dhammaduta juga dalam dhammasala ini umat mengadakan kegiatan sosial keagamaan.

Kuti, yaitu tempat tinggal para bhikkhu, bhikkhuni, samanera atau samaneri. Biasanya kuti di vihara-vihara terdiri dari kamar yang ditinggali oleh seorang atau dua bhikkhu, namun kuti di vihara-vihara meditasi biasanya hanya ditempati oleh seorang bhikkhu, dan kuti satu dengan kuti yang lain berjarak cukup jauh, hal ini dibuat demikian agar tidak terjadi percakapan antara para penghuni kuti. Di tempat ini mereka hidup, belajar dhamma, melaksanakannya, berusaha menembusnya atau merealisasikannya dan melestarikannya.

Perpustakaan, yaitu tempat buku-buku agama atau buku yang isinya ada hubungannya dengan pengetahuan agama dan pengetahuan lainnya. Juga merupakan tempat menyimpan kitab Suci Tipitaka maupun Atthakatha (komentar-komentar). Di tempat ini, selain belajar acariya (guru), para viharawan, para umat maupun orang lain belajar dhamma dan pengetahuan lainnya.

Cetiya, yaitu tempat puja bakti umat Buddha yang lebih kecil dan sarananya lebih sederhana jika dibandingkan dengan vihara. Di dalam cetiya hanya terdapat Dhammasala dan altar, dan pada umumnya tidak ada kuti maupun perpustakaan. Pada masa Sang Buddha, arti cetiya adalah setiap tempat suci, altar atau obyek pemujaan. Namun sekarang, khususnya di Indonesia, cetiya adalah tempat atau ruangan puja bakti yang kecil. Biasanya cetiya terdapat pula di rumah-rumah umat Buddha sebagai tempat puja bakti keluarga.

Arama, yaitu tempat puja bakti bagi umat Buddha yang lebih luas daripada vihara. Karena biasanya dalam arama ini terdapat taman yang lebih luas, dan banyak ditumbuhi oleh pepohonan. Namun sarana yang ada dalam arama ini tidak banyak berbeda dengan yang ada dalam vihara.

Altar, yaitu suatu tempat atau meja dimana Buddha rupang atau pratima Sang Buddha ditempatkan. Juga di atas altar terdapat tempat bunga, lilin dan dupa. Altar ini dalam suatu vihara atau cetiya tidak sama besar dan tingginya, tergantung pada tempat puja baktinya, agar kelihatan serasi dan menyenangkan dipandang.

Candi merupakan sebuah bangunan tempat puja bakti atau kebaktian umum bagi umat Buddha. Candi adalah kata Jawa Kuno yang artinya “kuil atau makam”. Tetapi, Candi bagi umat Buddha bukan makam melainkan sebuah objek pemujaan, karena di dalam Candi disimpan abu jenazah atau benda peninggalan dari orang suci atau Cakkavati (Raja Sejagat). Candi merupakan bangunan, ada yang besar dan ada yang kecil. Pada Candi terdapat ruangan-ruangan (Plaosan), namun ada juga Candi tanpa ruangan (Borobudur). Di dalam Candi besar terdapat rupang Buddha atau Bodhisattva (Mendut, Plaosan, Kalasan), tetapi di Candi Borobudur rupang Buddha bukan dalam ruangan melainkan dalam Stupa- Stupa. Pada bagian altar dari hampir semua Candi besar maupun kecil, terdapat Stupa-Stupa.

Stupa (Sansekerta) atau Thupa (Pali) adalah suatu monumen yang didirikan sebagai tempat untuk penempatan abu jenazah sisa kremasi atau benda peninggalan (relik) dari orang suci atau Cakkavati (Raja Sejagat). Stupa sebagai tempat penyimpanan abu jenazah atau benda peninggalan (relik) telah ada sejak pada masa Sang Buddha, juga Stupa seperti ini telah dijadikan sebagai objek penghormatan. Puja bhakti maupun penghormatan pada Stupa (karena ada relik) adalah suatu sikap mental dengan tujuan merenungkan dan selalu ingat akan perbuatan atau perilaku baik yang telah dilakukan oleh pemilik relik tersebut yang ada dalam Stupa (pada masa hidupnya), agar dapat meneladaninya. Inilah makna dari penghormatan pada Stupa tersebut dan menghormat dengan membuta tanpa mengerti apa maksud dan tujuan melakukannya.

Kebaktian Puja

Kebaktian adalah salah satu perwujudan keyakinan (saddha) terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Buddha, Dhamma dan Sangha. Kebaktian dapat dilakukan di vihara, cetiya, arama, Candi dan di tempat-tempat tertentu. Pada masa Sang Buddha, biasanya puja bhakti dilakukan pada hari Uposatha. Hari uposatha selalu jatuh pada hari ketika bulan purnama dan bulan mati, atau pada tanggal 1 dan 15 menurut lunar kalender. Hari puja bhakti ini tetap dilaksanakan oleh semua umat Buddha di dunia. Namun pada masa Beliau masih hidup pula, Sang Buddha membabarkan dhamma hampir disetiap hari sehingga pada sekarang ini selain puja bhakti dilakukan pada hari uposatha juga dilakukan pada hari-hari lain yang ditentukan oleh pengurus vihara yang bersangkutan. Banyak vihara yang menambahkan hari puja bhakti pada hari minggu.

Dengan demikian, hari apapun umat Buddha boleh melaksanakan kebaktian. Pelaksanaan kebaktian di daerah-daerah biasanya dilakukan bukan pada hari yang sama, namun disesuaikan dengan hari yang dianggap baik dan tepat oleh umat setempat.

Bentuk Ibadat

Tubuh, bahasa, dan pikiran merupakan unsur integral dalam ibadat umat Buddha maka meditasi yang hening, ajaran, pemberian persembahan, dan puji-pujian dilakukan. Sebelum memasuki ruang pemujaan, yang dilengkapi dengan patung Buddha, para peserta ibadat menanggalkan sepatu. Kemudian mengatur tangannya sebelum bersujud dengan posisi berlutut (bagi umat Buddha Theravada) atau berdiri (bagi umat Buddha Tibet). Ada tiga persembahan pokok yang dapat dipersembahkan, yaitu:

Persembahan bunga sebagai peringatan akan kehidupan yang tidak kekal.

Persembahan lilin untuk mengusir kegelapan

Persembahan dupa sebagai peringatan akan harumnya ajaran Buddha.

Akhirnya, setelah persembahan dilakukan, Tiga Tempat Perlindungan (Buddha, Dharma, dan Sangha) dan lima aturan didasarkan. Kemudian beberapa mantera diucapkan lalu dilanjutkan dengan meditasi. Biasanya juga ada pengajaran sebelum ibadat.


Hari Raya Agama Buddha

Berdasarkan kitab Suci Tipitaka (Pali) umat Buddha merayakan empat hari raya utama. Empat hari raya utama tersebut adalah:

Magha Puja (Hari Magha), biasanya jatuh pada purnama siddhi dibulan Februari-Maret. Pada hari ini memperingati dua kejadian penting dalam masa hidup Sang Buddha. Kejadian penting pertama ialah berkumpulnya 1250 orang arahat di vihara Veluvana, Rajagaha. Keistimewaan dan kejadian ini adalah:

Seribu dua ratus lima puluh bhikkhu yang berkumpul itu semuanya arahat.

Mereka semua adalah ‘Ehi Bhikku’, yaitu para bhikkhu yang ditahbiskan oleh Sang Buddha sendiri.

Mereka semua datang tanpa berjanji (persetujuan) terlebih dahulu.

Sang Buddha menerangkan prinsip-prinsip ajarannya yang disebut Ovada Patimokka.

Kejadian penting yang kedua terjadi pada tahun terakhir dari kehidupan Sang Buddha, yaitu sewaktu Beliau berada di Cetiya Capala di dekat kota Vesali. Setelah Beliau memberikan khotbah Iddhipada Dhamma kepada para siswaNya. Beliau berdiam sendiri dan membuat keputusan untuk wafat tiga bulan kemudian. Dua kejadian penting ini terjadi pada purnama siddhi di bulan Magha namun pada tahun yang berbeda.

Visakha Puja (Hari Wesak), biasanya jatuh pada purnama siddi dibulan Mei-Juni, untuk memperingati kejadian penting yang berkenaan dengan Tathagata, yaitu :

Saat lahirnya Pangeran Sidharta Gotama.

Saat Petapa Siddharta Gotama mencapai penerangan sempurna (bodhi) menjadi Buddha.

Saat Sang Buddha Gotama wafat atau parinibbana.

Asalha Puja (Hari Asadha), biasanya jatuh pada purnama siddhi bulan Juli-Agustus (dua bulan sesudah Wesak). Hari Asadha diperingati oleh umat Buddha karena beberapa alasan sebagai berikut:

Hari dimana Sang Buddha memberikan khotbah yang pertama. Khotbah ini terkenal dengan nama “Dhammacakkappavatana Sutta” (Khotbah Pemutaran Dhamma).

Sangha pertama muncul di dunia, sangha adalah salah satu faktor ‘sarana’ (perlindungan) dalam ‘Tisarana yaitu: Buddha, Dhamma dan Sangha. Bagi para bhikkhu, hari Asadha berarti pertanda akan dimulainya masa vassa pada keesokan harinya. Kata ‘vassa’ artinya hujan, jadi masa vassa bagi para bhikkhu adalah menetap di suatu tempat (vihara, cetiya bila ada kuti atau tempat tertentu), selama tiga bulan musim hujan. Pada masa ini para bhikkhu belajar, mendalami, menghayati dan mengamalkan dhamma, di samping itu mereka mengajarkan dan membina umat yang datang ke vihara (tempat ber-vassa) atau membina umat dengan cara mengunjungi para umat yang ada di daerah sekitar tempat ber-vassa.

Kathina (Hari Kathina), dirayakan tiga bulan sesudah Hari Asadha. Perayaan ini diselenggarakan para umat Buddha sebagai ungkapan perasaan ‘katannukatavedi’ atau ‘menyadari perbuatan baik yang telah dilakukan’ oleh para bhikkhu (viharawan). Karena ketika viharawan berada di daerah untuk melaksanakan vassa selama tiga bulan, para viharaman mengajar, menuntun dan membina umat agar mendalami, menghayati dan mengamalkan dhamma. Ungkapan ini dinyatakan dengan mempersembahkan barang-barang kebutuhan beruba jubah, obat-obatan, perlengkapan vihara dan kebutuhan para viharawan sehari-hari kepada para bhikkhu atau viharawan lainnya. Upacara ini dapat dilangsungkan dalam waktu satu bulan sesudah hari pertama berakhirnya masa Vassa.

Tuhan Menurut Pandangan Ajaran Budha

Konsep ketuhanan dalam agama budha berbeda dengan konsep dalam agama samawi dimana alam semesta diciptakan oleh tuhan dan tujuan akhir dari hidup manusia adalah kembali ke surga ciptaan tuhan yang kekal, tetapi konsep didalam agama budha bahwasanya asal muasal dan penciptaan alam semesta bukan berasal dari tuhan, melainkan karena hukum sebab dan akibat yang telah disamarkan oleh waktu, dan tujuan akhir dari hidup manusia adalah mencapai kebuddhaan atau pencerahan sejati dimana batin manusia tidak perlu lagi mengalami proses tumimbal lahir. Untuk mencapai itu pertolongan dan bantuan pihak lain tidak ada pengaruhnya, tidak ada dewa dewi yang dapat membantu, hanya dengan usaha sendirilah kebuddhaan dapat dicapai. Budha hanya merupakan contoh, juru pandu, dan guru bagi makhluk yang perlu melalui jalan mereka sendiri, mencapai pencerahan rohani, dan melihat kebenaran serta realitas sebenar-benarnya.

Sarjana besar radha Krishnan mantan wakil presiden republic india telah berkata “ Bahwa budha tidak mengikrarkan akidah-akidah, tidak membuat mazhab-mazhab falsafah dan tidak menyebut bahwa dia datang ke bumi membawa hikmat yang istimewa yang dimiliki dari azal. Dia tidak menyeru mereka menganut agama seperti agama-agama lain. Dia menunjukan kepada para pengikutnya suatu jalan dan bukanlah dia menetapkan suatu akidah karena menurutnya penerimaan terhadap sesuatu itu menghalangi penggalian terhadap apa yang ada dibalik kebenaran.

Seruan budha adalah cerita tentang pengalamannya dan tentang jalan yang diikutinya. Dengan ini budha mengesampingkan pembicaraan mengenai Tuhan. Dia mengelakkan segala apa yang berhubungan dengan pembahasan-pembahasan ketuhanan, metafisika atau tentang masalah-masalah gaib mengenai alam karena dia berpendapat bahwa pelepasan manusia adalah bergantung pada dirinya sendiri, bukan kepada Tuhan. Dia berpendapat bahwa manusia itulah pembentuk nasib akhirnya.

Oleh karena adanya pengesampingan soal ketuhanan ini atau kadang-kadang ada aliran yang mengingkarinya, golongan brahmana pada zamannya telah mencapanya sebagai seorang atheis. Akan tetapi sebagian dari pengikut budha mempercayai bahwa budha bukanlah manusia, tetapi ruh tuhan telah meresap di dalamnya. Akidah ini serupa dengan akidah peresapan yang di anut oleh para pengikut agama Kristen yang dikatakan terjadi pada diri al-masih.

Satu masalah lagi yang berhubungan dengan Tuhan pada pendapat budha ini adalah aliran-aliran ajaran budha yang bersifat moral dan tidak berakidah itu, juga karena kemudahannya dan tidak pula bertentangan dengan tuhan-tuhan orang hindu, telah menyebabkan cepatnya penyebaran ajaran tersebut di negeri india.

Perkembangan Agama Budha di Indonesia
Masa perkembangan agama budha di Indonesia dimulai sekitar abad ke-5 M. Bahwa pada waktu itu agama budha sudah berkembang luas di Jawa dan Sumatra, meskipun dikatakan pula penuh dengan penyelewengan. Catatan agak lengkap mengenai keadaan agama budha pada waktu itu dibuat oleh I’tsing, yang pada tahun 672 menetap untuk selama enam bulan di Sriwijaya guna mempelajari bahasa Sansekerta sebelum belajar agama di Nalanda India. Ia bahkan kembali lagi ke Sriwijaya setelah belajar selama lebih kurang sepuluh tahun di Nalanda untuk menerjemahkan naskah-naskah buddhis kedalam bahasa china. Menurut catatan I”tsing ini pula dapat diketahui bahwa Sriwijaya pada waktu itu sudah merupakan pusat pengajaran agama Budha yang terkenal di Asia dan mempunyai hubungan yang luas dengan pusat-pusat pengajaran agama Budha di India. Siswa-siswa yang belajar di sriwijaya bukan saja bersal dari wilayah Nusantara, tetapi juga berasal dari china dan tibet. Menurut I’tsing, penduduk seluruh daerah “Laut selatan”, maksudnya Jawa dan Sumatra, memeluk agama budha theravada dan hanya penduduk melayu saja yang memeluk agama budha mahayana.

Pada masa sesudah kemerdekaan perkembangan agama budha tidak lepas dari organisasi budhis yaitu perkumpulan “Sam Kaw Hwee Indonesia” tempat tersebut pertama kalinya digunakan untuk memberikan ceramah dharma dan kegiatan lain yang berhubungan dengan agama budha. Selanjutnya muncul beberapa organisasi budhis di indonesia, seperti: gabungan tri dharma indonesia, Perhimpunan budhis indonesia (PERBUDHI), musyawarah umat budha seluruh indonesia (MUBSI), federasi umat budha indonesia, budha dharma indonesia (BUDHI), gabungan umat budha seluruh indonesia (GUBSI) dan pada tahun 1979 dibentuklah atau wadah untuk umat budha seluruh indonesia dengan nama perwalian umat budha indonesia (WALUBI).

Tanggal 14 November 1998, KASI (Konferensi Agung Sangha Indonesia) dibentuk di Jakarta sebagai wadah dari tiga Sangha yang ada di Indonesia yaitu Sangha Mahayana Indonesia, Sangha Agung Indonesia dan Sangha Teravadaa Indonesia, KASI mempunyai tanggung jawab dalam tugas yang berhubungan dengan pelestarian dan penyebaran Budha di Indonesia.

Dengan adanya hal itu perkembangan agama budha di indonesia semakin semarak, baik dalam pendalaman maupun penyebaran agama keluar. Hubungan dengan pemerintah terjalin semakin baik, yang kemudian membuahkan berdirinya satu direktorat khusus agama budha pada tanggal 16 Agustus 1980 dan keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1983 yang menetapkan hari Raya Nyepi dan Waisak sebagai hari libur nasional. Akhirnya, berdasarkan angka statistik tahun 1980, jumlah pemeluk agama budha di indonesia dewasa ini mencapai 1.391.991 orang, yang tersebar di beberapa kota di Indonesia.


BAB III
PENUTUP


Agama budha merupakan salah satu agama yang muncul dan berkembang pesat di daratan india. Agama ini mulai muncul pada abad ke 6 SM. Pedoman dan hukum-hukum yang diajarakan oleh sidharta mempunyai tujuan akhir untuk melepaskan nafsu dan penderitaan dalam hidup manusia sehingga dapat mencapai nirwana. Agama budha didirikan oleh seorang pangeran yang bernama Sidharta, putra raja Sudhodana Gautama dari kerajaan kecil kapilawastu yang memerintah suku Sakya di india utara yang berbatasan dengan Nepal. Ia dilahirkan pada tahun 563 SM. Ajaran agama budha ada 3 yaitu Catur Arya Satyani, Nirwana, dan Arahat. Ada dua aliran didalam agama budha, yaitu Hinayana dan Mahayana.


DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 1988. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press.

Arifin, M. 1994. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar. Jakarta: Golden Terayon Press.

Faridi. 2002. Agama Jalan Kedamaian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Hadiwijoyo, Harun. 1987. Agama Hindu dan Budha. Jakarta: Gunung Mulia.

Hakim Agus , Perbandingan Agama, Bandung: Cv. Diponegoro

Keene Michael, Agama-agama Dunia, Yogyakarta: Kanisius, 2006,

Manaf, Mujahid Abdul. 1996. Sejarah Agama-Agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Mathar, Moch Qosim. 2003. Sejarah Theologi dan Etika Agama-Agama. Yogyakarta: Dian Intervidei.

Shalaby, Ahmad. 2001. Perbandingan Agama: Agama-Agama Besar Di India. Jakarta: PT Bumi Aksara.

dimohon supaya komentar relevan dengan judul postingan terima kasih